Romo Yahi RA Menjadi Muadzin, Imam Shalat dan Khotib

Kyai Syaikhoni adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus pengasuh pesantren di sebuah desa di OKI, Sumatera Selatan. Sebelum di OKI, pria asal Jember ini tinggal di Lampung. Di sanalah dua tahun lalu Ia mengenal Wahidiyah dari seorang temannya. Setelah berpindah ke OKI, Allah mempertemukannya lagi dengan seorang pengamal Wahidiyah, H. Sodikin namanya.

Sebagai orang yang pernah belajar di pesantren Salafiyah, sebenarnya Ia sudah tidak asing dengan ajaran-ajaran tasawuf, termasuk hal ghoutsiyah yang sering dibahas dalam Wahidiyah. Namun, Ia merasa belum yakin sepenuhnya sebelum benar-benar membuktikan atsar Wahidiyah, khususnya dalam hal tawasul kepada Al Ghouts. Baginya, Ia ingin benar-benar bisa itba’ dalam menjalankan sesuatu yang diyakininya, bukan sekadar taqlid buta.

Keraguannya mulai terjawab ketika pertama kalinya Ia datang ke Pondok Pesantren Kedunglo untuk mengikuti Mujahadah Kubro bersama rombongan dari OKI. Meskipun kali itu Ia terpaksa belum bisa mengajak serta anak istrinya, Ia berharap bisa menemukan apa yang dicarinya. Sampai di Kedunglo, rombongan mereka menyewa sebuah rumah salah seorang warga sekitar lingkungan Kedunglo untuk dijadikan tempat transit selama mengikuti Mujahadah Kubro.

Tersasar di Masjid yang Semua Petugasnya adalah Kanjeng Romo Kyai RA

Pada suatu Jumat pagi, para pengamal OKI bersiap-siap mengikuti jamaah salat Jumat. H. Sodikin sebagai ketua rombongan mengajak Kyai Syaikhoni segera berangkat karena khawatir tidak mendapat tempat di dalam masjid. Tetapi Kyai Syaikhoni belum ingin berangkat, sehingga H. Sodikin pun berangkat lebih dulu. Baru setelah terdengar suara azan dikumandangkan, Ia beranjak hendak ke masjid untuk salat Jumat.

Namun saat itulah Ia baru menyadari telah terjadi keanehan. Bukannya di masjid Kedunglo, tiba-tiba saja ia sudah berada di sebuah masjid di salah satu pesantren lain di Kediri. Belum hilang rasa terkejutnya, Ia semakin terheran-heran ketika disadarinya bahwa semua petugas mulai dari muazin, khatib, hingga imam salat, semuanya adalah Romo KH. Abdul Latif Majid RA.

Dirinya baru tahu saat itu tidak berada di Kedunglo ketika bertemu seorang tetangganya yang ‘mondok’ di pesantren tersebut. “Lho, Pak kenapa ada di sini?”, tanya anak itu heran. “Saya ini sedang ikut Mujahadah Kubro di Kedunglo”, jawabnya. Tetapi dijelaskan oleh anak tersebut bahwa saat itu Ia bukan sedang berada di Kedunglo. Dengan penuh tanda tanya Ia memanggil becak untuk kembali ke Kedunglo. Sepanjang perjalanan, kejadian tersebut begitu membekas di hatinya.  

Keluarga dan Santrinya Berada di Tepi Jurang

Muncul rasa rindu dan cinta yang mendalam kepada Romo Yahi RA. Ia pun bertekad untuk bisa shalat berjamaah di belakang Romo Yahi RA. “mungkin karena begitu kesengsemnya, Saya jadi ingin salat di belakang Romo Yahi RA pada jamaah salat maghrib nantinya”, tuturnya. Pada saat salat maghrib, Kyai Syaikhoni berhasil memenuhi hasratnya untuk makmum di belakang Romo Yahi RA. Setelah jamaah salat maghrib dan mujahadahnya diakhiri dengan nida’ serta tasyafuan dan istighotsah, lagi-lagi pandangan batinnya dibuka oleh Allah.

Ia diperlihatkan bahwa saat itu keluarga dan para santrinya sedang dalam kondisi kritis berada di tepi jurang. Ia ingin menolong tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam kondisi panik, datanglah Beliau Romo Yahi RA sambil dawuh, “Bacalah Yaa Sayyiidii Yaa Rasulullah!” setelah membaca kalimat nida’, Ia pun bisa menolong keluarga dan santrinya. Setelah kejadian itu, berbagai perasaan bergejolak di hatinya. Haru, nelongso, menyesal, sedih berpadu menjadi satu hingga Ia tak kuasa lagi menahan derasnya air mata.

Begitu tidak kuatnya menahan tangis sampai-sampai Ia minta pulang ke OKI karena teringat keluarga dan santrinya. Kemudian oleh H. Sodikin Ia diajak bersilaturahmi ke rumah Drs. Karna Adji. Di sana Ia disarankan agar tidak terburu-buru pulang, melainkan menunggu sampai rangkaian acara Kubro berakhir.

Kejadian Aneh antara Pengemis dan Tasbih

Sebelum mengalami dua kejadian tersebut, Ia juga mengalami kejadian aneh. Selama tiga kali berturut-turut Ia bertemu dengan seorang pengemis di arena Mujahadah Kubro. Padahal Ia pernah mendengar cerita bahwa tidak pernah ada pengemis di dalam arena Mujahadah Kubro. Setiap kali pengemis itu minta, Ia memberinya lima ribu rupiah. Sampai akhirnya pengemis itu meminta tasbih milik Kyai Syaikhoni namun Ia tidak memberikannya.

Karena baginya, tasbih itu memilki nilai historis sebab selalu dibawa ketika ziarah ke makam para wali. Tetapi, pengemis itu bersikeras untuk meminta tasbih tersebut sambil berjanji akan menggantinya. Anehnya, tiba di rumah kos, Ia melihat tasbihnya sudah kembali dan tergantung di tempatnya semula dalam kamar.

Setelah Ia semakin mantap dengan Wahidiyah, masih ada hal yang meresahkannya. Selama ini ia menampung sekitar 150-an santri. Namun sejak Ia mengamalkan Wahidiyah, para santri yang sebenarnya sudah melaksanakan Mujahadah 40-an mulai berkurang. Hal ini karena kebetulan tanah yang selama ini ditempati pesantren Kyai Syaikhoni adalah milik orang yang notabene berseberangan dengan Wahidiyah hingga Ia tidak mengizinkan tanahnya dijadikan tempat untuk kegiatan Wahidiyah.

Ketika hal itu disowankan kepada Beliau Romo Yahi RA, Beliau bertanya pada Kyai Syaikhoni, “Kamu siap ‘Perang’?”, “Siap Romo”, “Kalau begitu perangilah dengan banyak Mujahadah”. Setelah didawuhi Romo Yahi RA, Kyai Syaikhoni hanya bisa pasrah dan memperbanyak mujahadah, sambil berharap yang terbaik untuk dirinya, keluarga dan para santrinya. (Ia)



Sumber:

Majalah Aham Edisi 89 | Jumadal Ula 1431 H

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama