KANJENG ROMO KYAI RA MEMBERITAHUKAN AKAN TERJADINYA MUSIBAH



Ibu Siti Sundari, salah satu pengamal Wahidiyah di Dusun Munggur, Desa Tempuran, Paron, Ngawi, Jawa Timur menceritakan prosesnya menjadi pengamal Wahidiyah. semuanya berawal dari sebuah isyarah yang diterima oleh suaminya dari Hadrotul Mukarrom Kanjeng Romo Kyai RA.

Saya Menganggap Sholawat Wahidiyah Sama Saja dengan Sholawat dan Doa Lainnya


Ketika itu, Saya belum menjadi pengamal Wahidiyah, padahal suami sudah berkali-kali mengajak Saya. Karena tebalnya nafsu dalam hati, hingga Saya menolak ajakan suami. Waktu itu, Saya menganggap Sholawat Wahidiyah hanya sebagai amalan seperti Sholawat dan doa lainnya. Sedangkan Saya sudah bersholawat dan berdoa, menurut Saya waktu itu tidak ada bedanya antara Sholawat Wahidiyah dengan Sholawat lainnya.

Saya belum mengerti pentingnya makmum dengan Rasulullah SAW dan Ghouts RA. Meski demikian, setiap jamaah Wahidiyah melaksanakan Mujahadah Usbuiyah di rumah Saya, Saya pun menghormatinya. Hal ini Saya lakukan sebagai penghormatan kepada suami.

Berangkat ke Kantor Meski Kurang Mendapat Restu dari Suami


Pada tanggal 2 Mei 1997, sebagaimana biasanya Saya bangun menjelang waktu subuh. Setelah melaksanakan salat subuh, Saya memasak di dapur untuk keperluan hari itu. Selesai memasak, Saya melaksanakan salat duha, kemudian berangkat ke kantor, namun suami Saya melarang tanpa alasan. Saya nekat duduk di atas sepeda motor bersiap-siap untuk berangkat. Suami Saya memegang tangan Saya dan mendekap serta menggendong Saya, serta dibawa masuk ke dalam rumah.

Lagi-lagi suami tidak menjelaskan alasan, namun Saya nekat berangkat ke kantor karena ada pertemuan penting. Di saat itu suami Saya berkata, “Kamu jangan melewati jalan raya besar, seperti jalur Ngawi-Solo”. Saya tetap berangkat meskipun kurang mendapat restu suami. Setelah mengikuti pertemuan di kantor, Saya pergi ke Dusun kalang Desa Ngale-paron untuk keperluan kantor.

Beberapa saat kemudian sambil mengendarai sepeda motor, Saya kembali ke kantor BKKBN Ngawi. Waktu itu, sambil mengendarai sepeda motor Saya membaca surat Yasin (maaf, waktu itu Saya hafal). Sebelum sampai tujuan dan bacaan sampai ayat ke 55, Saya ditabrak kendaraan truk di depan Rumah makan Duta (kira-kira 2 km sebelah barat kota Ngawi arah jalur ke Solo).

Suami Saya yang datang ke rumah sakit dengan perasaan panik memberitahukan kepada dokter bahwa Saya akan dibawa ke rumah sakit Kustati Solo. Namun, dokter melarangnya. Kepada dokter, suami Saya berkata, “Jika dokter menjamin istri Saya hidup, biar dirawat di RSUD ini, tetapi kalau tidak, Saya bawa ke Solo saja”. Dan akhirnya, dokter memperkenankan Saya dirawat di RS Kustati Solo. Saya mengalami koma di rumah sakit selama 1 minggu dan berada di rumah sakit selama 3 minggu. Padahal menurut sebagian dokter yang merawat, kecelakaan seperti Saya umumnya memerlukan waktu 2 bulan lebih.

Kecelakaan Itu Menyadarkan Saya untuk Ikut Mengamalkan Sholawat Wahidiyah


Suami Saya sering melaksanakan Mujahadah di samping pembaringan Saya, untuk memohon pancaran sinar karomah dari Hadrotul Mukarrom Kanjeng Romo Kyai Abdul Latif Majid RA. Dan ketika bermujahadah, suami Saya menaruh air dalam baki di depan tempat duduknya. Selesai bermujahadah, air itu dilulurkan ke tubuh Saya yang sakit. Akhirnya Saya sembuh dan beraktivitas kembali masuk kantor seperti biasanya. Baru saat itulah Saya sadar dan ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah.

Setelah Saya sembuh, suami Saya menceritakan pengalaman rohaninya menjelang Saya mengalami kecelakaan. Malam hari sebelum terjadi kecelakaan, ketika suami Saya bermujahadah, secara terjaga (tidak mimpi) dihadiri oleh Hadrotul Mukarrom Kanjeng Romo Kyai RA. Kepada suami Saya Beliau RA dawuh, “Bojomu ojo ning jalan raya, ojo ning rumah sakit Ngawi” (istrimu jangan ke jalan raya, jangan di rumah sakit Ngawi). Sayangnya, Saya tidak mengindahkan isyarah yang didapatkan suami Saya tersebut, sehingga terjadilah peristiwa naas itu. (dppw)


Sumber:
Majalah Aham Edisi 138 | April 2018 M / Rajab 1439 H


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama